Saturday, July 12, 2014

Jika Aku Menjadi Pemimpin Perempuan

Membongkar perspektif sama sulitnya dengan mengukir sejarah dari perspektif perempuan. Ini karena sudah bertahun-tahun lamanya dominasi cara berpikir maskulin bukan saja bersemayam di dalam perspektif manusianya tetapi juga knowledge product mereka. Tulisan salah satunya. Kekuatan oral perempuan masih dominan dibandingkan tradisi menulis. Menulis, esensinya adalah mendiskripsikan rasa, pengetahuan dan perpektif perempuan dalam sebuah bentuk dokumen tertulis yang bisa menyimpan dalam kurun waktu yang lebih lama. Pengalaman ini kemudian menjadi pengetahuan baru yang bisa menginspirasi perempuan lain. Kekuatan tulisan perempuan ada pada pengalaman diri sendiri dan tingkat kesadaran kritis yang ditunjukkan oleh kemampuan berefleksi dalam konteks sosial politik dimana dia berada.

Untuk mendapatkan pengetahuan baru itulah, Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia Beragam (Bersih, Berdaulat, Adil Gender dan Majemuk) memberikan perhatian penting untuk menumbuhkan lebih banyak lagi penulis pemula. Lomba Menulis bertajuk “Andai Aku Jadi Pemimpin Perempuan” merupakan ruang penjaringan penulis-penulis pemula baik dari segi usia maupun pengalaman terlibat dalam isu perempuan. Kompetisi menulis memang tidak terlalu banyak tersedia, apalagi yang memberikan ruang bagi perempuan akar rumput dan tentu saja anak-anak muda, apalagi yang hidup di luar jangkauan kota metropolitan, dimana tradisi oral masih sangat kuat, sehingga menulis sering dijadikan momok. Kalau bicara seperti air mengalir, tapi kalau menulis seperti orang melahirkan, sulit mengeluarkan idenya. 

Pengalaman sebagai perempuan memang sangat kental bisa dibaca pada tulisan perempuan yang mewakili komunitasnya. Membaca tiga tulisan dari perempuan di komunitas, anda akan mendapatkan kompleksitas persoalan perempuan dan bagaimana struktur kuasa gender itu bekerja membungkam perempuan dan bahkan menyeretnya pada kematian, seperti tulisan Binti Sopiyah, berjudul “Jalan Kotor”, menceritakan kisah seorang buruh pabrik yang tinggal di lingkungan miskin kota dengan dan lapisan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh perempuan. “Jalan Kotor” tentu bukan sekedar “jalan tikus” (jalan pintas) tetapi segudang cerita kekerasan terhadap perempuan. Mia Cisadani, seorang konselor narapidana anak, yang menulis “Projek Cinta Dua Dunia”, sangat kuat untuk mengembalikan pemahaman orang awam tentang narapidana anak, dan mengingatkan kita bahwa tidak terlalu banyak kita berinvestasi pada anak, sehingga mereka melakukan kejahatan. Sementara kekuatan detil pengamatan perempuan sangat bisa dirasakan dalam tulisan Sementara pada tulisan Netaria Perabu dengan, kita bisa merasakan, agenda perempuan yang sangat urgen untuk dicarikan solusi. 

Sementara kekuatan analitis bisa dirasakan dari tulisan para mahasiswi yang memberikan kerangka teori dari persoalan perempuan dari berbagai aspek. Nurul Intani menawarkan pendekatan multi dimensi untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Pendekatan belajar dari sejarah yaitu ketauladanan Ibu Kartini, menjadi inspirasi Tereza Zofanya untuk memberdayakan perempuan Indoensia. Suara perempuan muda putus sekolah dan dinamika perasaanya antara malu dan marah, dipaparkan secara mendalam oleh Yasserina Rawie, membuat kita terhenyak pada persoalan perkawinan dini, “anak melahirkan anak”, dan kematian ibu melahirkan. 

Kupasan tentang kawin muda dari Yeni Kurniawati sangat mengena sebagai persoalan yang tidak bisa diremehkan. Termasuk kekhawatiran tidak bisa melanjutkan pada pendidikan tinggi, sementara juga tidak ada kepastian bekerja, sangat kuat direfleksikan oleh Yeni, mewakili persoalan anak-anak muda saat ini. Kharisma sangat kuat membawa kekuatan sejarah para pemimpin perempuan mampu menginspirasi pemimpin perempuan yang baru. Bahkan Jarwatie sangat konkrit mewarkan solusi jika dia menjadi Lurah dimana persoalan kerusakan lingkungan menyebabkan banjir, ditambah dengan buruknya sistem penanganan bencana. Saya bisa bayangkan pada usia beliau sebagai penulis bayangan kualitas pemimpin perempuan sudah melekat. 

Sampai pada 12 Mei 2014, panitia menerima 60 tulisan dari ketiga kategori yang ada. Dan tanggal 21 Mei 2014, Juri Lomba Tulis yang terdiri dari Theresia Sri Endras Iswarini, Ati Nurbaiti, Olin Monteiro, Eko Bambang Subiantoro, Hegel Terome memutuskan pemenang dari lomba sebagai berikut:

Kategori Mahasiswa:


Juara I: Nurul Intani (Pasca Sarjana Unika Soegijapranata Semarang), judul artikel "Perempuan dan Kekerasan yang harus Dihentikan"
Juara II: Teresa Zefanya (Institut Teknologi Bandung (ITB), judul artikel "Seorang Perempuan Indonesia yang Menentang Ketidakadilan"
Juara III: Yasserina Rawie (Universitas Indonesia), judul artikel "Jika Aku Menjadi Pemimpin Perempuan: Pendidikan, Perlindungan, Kesetaraan"

Kategori Siswa:
Juara I: Yeni Kurniawati (SMA 3 Kediri), judul artikel "Impian Untuk Negeriku"
Juara II: Kharisma (SMAN 1 Tellu Limpo Sulawesi Selatan), judul artikel "Menjadi Pemimpin Perempuan"
Juara III: Jarwati (SMA PGRI Kudus), judul artikel "Jika Aku Lurah"

Kategori Komunitas:
Juara I: Mia Cisadani Komunitas Konselor dan Motivator Narapidana Anak, judul artikel "Projek Cinta Dua Dunia"
Juara II: Juara II: Binti Sopiyah Komunitas Perempuan Pekerja BMI, judul artikel "Jalan yang Kotor"
Juara III: Netaria Perabu (Sekolah Perempuan Pamona), judul artikel "Andai Aku Menjadi Seorang Pemimpin Perempuan






***

No comments:

Post a Comment