Tuesday, September 2, 2014

Landasan Aksi Beijing: Sebuah Review 20 tahun

Ketika Beijing Platform for Action (BPfA) dirumuskan di Kongres Dunia PBB tahun 1995, gerakan perempuan di seluruh dunia melakukan persiapan intensif untuk mengusulkan area kritis hak-hak perempuan yang harus menjadi perhatian pemerintah, dunia internasional dan tentu sektor swasta dan masyarakat sipil. Di Indonesia sendiri, sejarah gerakan perempuan dalam mempersiapkan agenda global ini juga secara intensif dilakukan. Ita F. Nadia, saat itu sebagai kordinator Kalyanamitra menuturkan pengalamannya dalam Workshop dua hari mereview Landasan aksi Beijing di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 27-28 Agustus 2014. Workshop yang diprakarasai oleh KOMNAS Perempuan, Asia Pacific Women's Alliance for Peace and Security (APWAPS), Indonesia Beragama, Aliansi anti Gender-Based Violence (GBV) dan Forum Mitra MAMPU, bertujuan untuk melihat keberhasilan pemerintah dan masyarakat sipil dalam mengimplementasikan Landasan Aksi Beijing yang terdiri dari 12 isu kritis diantaranya adalah:

1.Perempuan dan Kemiskinan
2.Pendidikan dan Pelatihan Perempuan
3.Perempuan dan Kesehatan
4.Kekerasan Terhadap Perempuan
5.Perempuan dan Konflik Bersenjata
6.Perempuan dan Ekonomi
7.Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan keputusan
8.Mekanisme Kelembagaan untuk Kemajuan Perempuan
9.Hak Azasi Perempuan
10.Perempuan dan Media
11.Perempuan dan Lingkungan
12.Anak Perempuan

Selain Mbak Ita, Ibu Syamsiah Ahmad, perwakilan pemerintah Indonesia yang sangat aktif dalam melakukan loby-loby agenda perempuan di PBB juga didaulat untuk bercerita bagaimana diplomasi pemerintah Indonesia, dan tentu saja bagaimana relasinya dengan gerakan perempuan Indonesia saat itu. Tajamnya 12 area kritis perempuan hasil dari Konfrensi Dunia tersebut, sangat merefleksikan perjuangan para aktor perempuan baik yang duduk di dalam delegasi pemerintah maupun perwakilan gerakan perempuan. 

Begitu rapi dan jelas langkah-langkah advokasi yang dijalankan oleh gerakan perempuan, termasuk pada pembagian peran "siapa" melakukan "apa" dalam konteks advokasi mensyaratkan fokus pada bagian advokasi, sehingga tidak memungkinkan dominasi pada satu dua lembaga. Inilah yang saya rasa penting untuk dijalankan ulang oleh gerakan perempuan Indonesia dalam merespon agenda global. 

Dihadiri oleh 75 delegasi berbagai organisasi perempuan dari berbagai propinsi, workshop menghasilkan butir-butir penting sebagai berikut: 

Pertama, analisis capaian-capaian gerakan perempuan Indonesia dalam mengadvokasi 12 isu kritis tersebut selama 20 tahun perjalanan Landasan Aksi Beijing di Indonesia. Capaian yang dimaksudkan disini adalah pengembangan institusi pembela HAM Perempuan dan pengembangan pemberdayaan perempuan, kebijakan-kebijakan yang mendorong pada perluasan kesetaraan gender dan praktek-praktek baru yang mengarah pada pengukiran budaya baru kesetaraan gender di berbagai konteks komunitas. 

Kedua, analisis hambatan-hambatan struktural dan kultural yang dihadapi oleh gerakan perempuan dalam membumikan intervesi ke 12 area kritis tersebut. hambatan kultural bukan saja terletak pada pemahaman masyarakat yang bias terhadap perempuan, tetapi adanya politisasi agama dengan lebih mempromosikan interpretasi agama yang bias gender juga menjadi hambatan, sekaligus isu baru yang dulu tidak begitu diperhitungkan dalam menyusun agenda-agenda dalam Landasan Beijing ini.

Ketiga, analisis tentang tantangan ke depan dalam meneruskan komitmen Landasan Beijing untuk 10 tahun ke depan, dimana sederet kebijakan pendukung sudah terbentuk, meski sebagian lagi perlu untuk direvisi karena berlawanan dengan semangat anti diskriminasi dan kekerasan. Tetapi tentu masih meraba pemerintah baru yang diusung oleh masyaraakt sipil, akankah memberikan ruang yang berbeda? Mungkinka keputusan masyarakat juga bisa sejalan dengan keputusan pemerintah? 

Secara lengkap matrix setiap isu kritis bisa didownload di sini.
***

No comments:

Post a Comment